Upacara Adat Jawa Barat
Adat istiadat yang diwariskan
leluhurnya pada masyarakat Sunda masih dipelihara dan dihormati. Dalam daur
hidup manusia dikenal upacara-upacara yang bersifat ritual adat seperti:
upacara adat Masa Kehamilan, Masa Kelahiran, Masa Anak-anak, Perkawinan,
Kematian dll. Demikian juga dalam kegiatan pertanian dan keagamaan dikenal
upacara adat yang unik dan menarik. Itu semua ditujukan sebagai ungkapan rasa
syukur dan mohon kesejahteraan dan keselamatan lahir bathin dunia dan akhirat.
Beberapa kegiatan upacara adat di Jawa Barat dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
UPACARA DAUR HIDUP MANUSIA
A.Upacara Adat Masa Kehamilan
1. Upacara Mengandung Empat Bulan
Dulu Masyarakat Jawa Barat apabila
seorang perempuan baru mengandung 2 atau 3 bulan belum disebut hamil, masih
disebut mengidam. Setelah lewat 3 bulan barulah disebut hamil. Upacara
mengandung Tiga Bulan dan Lima Bulan dilakukan sebagai pemberitahuan kepada
tetangga dan kerabat bahwa perempuan itu sudah betul-betul hamil. Namun
sekarang kecenderungan orang-orang melaksanakan upacara pada saat kehamilan
menginjak empat bulan, karena pada usia kehamilan empat bulan itulah saat
ditiupkannya roh pada jabang bayi oleh Allah SWT. Biasanya pelaksanaan upacara
Mengandung empat Bulan ini mengundang pengajian untuk membacakan do’a selamat,
biasanya doa nurbuat dan doa lainnya agar bayinya mulus, sempurna, sehat, dan
selamat.
2. Upacara Mengandung Tujuh Bulan
Upacara Tingkeban adalah upacara
yang diselenggarakan pada saat seorang ibu mengandung 7 bulan. Hal itu
dilaksanakan agar bayi yang di dalam kandungan dan ibu yang melahirkan akan
selamat. Tingkeban berasal dari kata tingkeb artinya tutup, maksudnya si ibu
yang sedang mengandung tujuh bulan tidak boleh bercampur dengan suaminya sampai
empat puluh hari sesudah persalinan, dan jangan bekerja terlalu berat karena
bayi yang dikandung sudah besar, hal ini untuk menghindari dari sesuatu yang
tidak diinginkan. Di dalam upacara ini biasa diadakan pengajian biasanya
membaca ayat-ayat Al-Quran surat Yusuf, surat Lukman dan surat Maryam.
Di samping itu dipersiapkan pula peralatan untuk upacara memandikan ibu hamil , dan yang utama adalah rujak kanistren yang terdiri dari 7 macam buah-buahan. Ibu yang sedang hamil tadi dimandikan oleh 7 orang keluarga dekat yang dipimpin seorang paraji secara bergantian dengan menggunakan 7 lembar kain batik yang dipakai bergantian setiap guyuran dan dimandikan dengan air kembang 7 rupa. Pada guyuran ketujuh dimasukan belut sampai mengena pada perut si ibu hamil, hal ini dimaksudkan agar bayi yang akan dilahirkan dapat berjalan lancar (licin seperti belut). Bersamaan dengan jatuhnya belut, kelapa gading yang telah digambari tokoh wayang oleh suaminya dibelah dengan golok. Hal ini dimaksudkan agar bayi yang dikandung dan orang tuanya dapat berbuat baik lahir dan batin, seperti keadaan kelapa gading warnanya elok, bila dibelah airnya bersih dan manis. Itulah perumpamaan yang diharapkan bagi bayi yang dikandung supaya mendapatkan keselamatan dunia-akhirat.
Sesudah selesai dimandikan biasanya ibu hamil didandani dibawa menuju ke tempat rujak kanistren tadi yang sudah dipersiapkan. Kemudian sang ibu menjual rujak itu kepada anak-anak dan para tamu yang hadir dalam upacara itu, dan mereka membelinya dengan menggunakan talawengkar, yaitu genteng yang sudah dibentuk bundar seperti koin. Sementara si ibu hamil menjual rujak, suaminya membuang sisa peralatan mandi seperti air sisa dalam jajambaran, belut, bunga, dsb. Semuanya itu harus dibuang di jalan simpang empat atau simpang tiga. Setelah rujak kanistren habis terjual selesailah serangkaian upacara adat tingkeban.
Di samping itu dipersiapkan pula peralatan untuk upacara memandikan ibu hamil , dan yang utama adalah rujak kanistren yang terdiri dari 7 macam buah-buahan. Ibu yang sedang hamil tadi dimandikan oleh 7 orang keluarga dekat yang dipimpin seorang paraji secara bergantian dengan menggunakan 7 lembar kain batik yang dipakai bergantian setiap guyuran dan dimandikan dengan air kembang 7 rupa. Pada guyuran ketujuh dimasukan belut sampai mengena pada perut si ibu hamil, hal ini dimaksudkan agar bayi yang akan dilahirkan dapat berjalan lancar (licin seperti belut). Bersamaan dengan jatuhnya belut, kelapa gading yang telah digambari tokoh wayang oleh suaminya dibelah dengan golok. Hal ini dimaksudkan agar bayi yang dikandung dan orang tuanya dapat berbuat baik lahir dan batin, seperti keadaan kelapa gading warnanya elok, bila dibelah airnya bersih dan manis. Itulah perumpamaan yang diharapkan bagi bayi yang dikandung supaya mendapatkan keselamatan dunia-akhirat.
Sesudah selesai dimandikan biasanya ibu hamil didandani dibawa menuju ke tempat rujak kanistren tadi yang sudah dipersiapkan. Kemudian sang ibu menjual rujak itu kepada anak-anak dan para tamu yang hadir dalam upacara itu, dan mereka membelinya dengan menggunakan talawengkar, yaitu genteng yang sudah dibentuk bundar seperti koin. Sementara si ibu hamil menjual rujak, suaminya membuang sisa peralatan mandi seperti air sisa dalam jajambaran, belut, bunga, dsb. Semuanya itu harus dibuang di jalan simpang empat atau simpang tiga. Setelah rujak kanistren habis terjual selesailah serangkaian upacara adat tingkeban.
3. Upacara Mengandung Sembilan Bulan
Upacara sembuilan bulan dilaksanakan
setelah usia kandungan masuk sembilan bulan. Dalam upacara ini diadakan
pengajian dengan maksud agar bayi yang dikandung cepat lahir dengan selamat
karena sudah waktunya lahir. Dalam upacara ini dibuar bubur lolos, sebagai
simbul dari upacara ini yaitu supaya mendapat kemudahan waktu melahirkan,
lolos. Bubur lolos ini biasanya dibagikan beserta nasi tumpeng atau makanan
lainnya.
4. Upacara Reuneuh Mundingeun
Upacara Reuneuh Mundingeun
dilaksanakan apabila perempuan yang mengandung lebih dari sembilan bulan,bahkan
ada yang sampai 12 bulan tetapi belum melahirkan juga, perempuan yang hamil itu
disebut Reuneuh Mundingeun, seperti munding atau kerbau yang bunting. Upacara
ini diselenggarakan agar perempuan yang hamil tua itu segera melahirkan jangan
seperti kerbau, dan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Pada
pelaksanaannya leher perempuan itu dikalungi kolotok dan dituntun oleh indung
beurang sambil membaca doa dibawa ke kandang kerbau. Kalau tidak ada kandang
kerbau, cukup dengan mengelilingi rumah sebanyak tujuh kali. Perempuan yang
hamil itu harus berbuat seperti kerbau dan menirukan bunyi kerbau sambil
dituntun dan diiringkan oleh anak-anak yang memegang cambuk. Setelah
mengelilingi kandang kerbau atau rumah, kemudian oleh indung beurang dimandikan
dan disuruh masuk ke dalam rumah. Di kota pelaksanaan upacara ini sudah jarang
dilaksanakan.
B. Upacara Kelahiran dan Masa Bayi
1. Upacara Memelihara Tembuni
1. Upacara Memelihara Tembuni
Tembuni/placenta dipandang sebagai
saudara bayi karena itu tidak boleh dibuang sembarangan, tetapi harus diadakan
upacara waktu menguburnya atau menghanyutkannya ke sungai. Bersamaan dengan
bayi dilahirkan, tembuni (placenta) yang keluar biasanya dirawat dibersihkan
dan dimasukan ke dalam pendil dicampuri bumbu-bumbu garam, asam dan gula merah
lalu ditutup memakai kain putih yang telah diberi udara melalui bambu kecil
(elekan). Pendil diemban dengan kain panjang dan dipayungi, biasanya oleh
seorang paraji untuk dikuburkan di halaman rumah atau dekat rumah. Ada juga
yang dihanyutkan ke sungai secara adat.
Upacara penguburan tembuni disertai pembacaan doa selamat dan menyampaikan hadiah atau tawasulan kepada Syeh Abdulkadir Jaelani dan ahli kubur. Di dekat kuburan tembuni itu dinyalakan cempor/pelita sampai tali pusat bayi lepas dari perutnya.. Upacara pemeliharaan tembuni dimaksudkan agar bayi itu selamat dan kelak menjadi orang yang berbahagia.
Upacara penguburan tembuni disertai pembacaan doa selamat dan menyampaikan hadiah atau tawasulan kepada Syeh Abdulkadir Jaelani dan ahli kubur. Di dekat kuburan tembuni itu dinyalakan cempor/pelita sampai tali pusat bayi lepas dari perutnya.. Upacara pemeliharaan tembuni dimaksudkan agar bayi itu selamat dan kelak menjadi orang yang berbahagia.
2. Upacara Nenjrag Bumi
Upacara Nenjrag Bumi ialah upacara
memukulkan alu ke bumi sebanyak tujuh kali di dekat bayi, atau cara lain yaitu
bayi dibaringkan di atas pelupuh (lantai dari bambo yang dibelah-belah ),
kemudian indung beurang menghentakkan kakinya ke pelupuh di dekat bayi. Maksud
dan tujuan dari upacara ini ialah agar bayi kelak menjadi anak yang tidak lekas
terkejut atau takut jika mendengar bunyi yang tiba-tiba dan menakutkan.
3 .Upacara Puput Puseur
3 .Upacara Puput Puseur
Setelah bayi terlepas dari tali
pusatnya, biasanya diadakan selamatan. Tali pusat yang sudah lepas itu oleh indung
beurang dimasukkan ke dalam kanjut kundang . Seterusnya pusar bayi ditutup
dengan uang logam/benggol yang telah dibungkus kasa atau kapas dan diikatkan
pada perut bayi, maksudnya agar pusat bayi tidak dosol, menonjol ke luar. Ada
juga pada saat upacara ini dilaksanakan sekaligus dengan pemberian nama bayi.
Pada upacara ini dibacakan doa selamat, dan disediakan bubur merah bubur putih.
Ada kepercayaan bahwa tali pusat (tali ari-ari) termasuk saudara bayi juga yang
harus dipelihara dengan sungguh-sungguh. Adapun saudara bayi yang tiga lagi
ialah tembuni, pembungkus, dan kakawah. Tali ari, tembuni, pembungkus, dan
kakawah biasa disebut dulur opat kalima pancer, yaitu empat bersaudara dan
kelimanya sebagai pusatnya ialah bayi itu. Kesemuanya itu harus dipelihara
dengan baik agar bayi itu kelak setelah dewasa dapat hidup rukun dengan
saudara-saudaranya (kakak dan adiknya) sehingga tercapailah kebahagiaan.
4. Upacara Ekah
Sebetulnya kata ekah berasal dari
bahasa Arab, dari kata aqiqatun “anak kandung”. Upacara Ekah ialah upacara
menebus jiwa anak sebagai pemberian Tuhan, atau ungkapan rasa syukur telah
dikaruniai anak oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, dan mengharapkan anak itu kelak
menjadi orang yang saleh yang dapat menolong kedua orang tuanya nanti di alam
akhirat. Pada pelaksanaan upacara ini biasanya diselenggarakan setelah bayi
berusia 7 hari, atau 14 hari, dan boleh juga setelah 21 hari. Perlengkapan
yangb harus disediakan adalah domba atau kambing untuk disembelih, jika anak
laki-laki dombanya harus dua (kecuali bagi yang tidak mampu cukup seekor), dan
jika anak perempuan hanya seekor saja. Domba yang akan disembelih untuk upacara
Ekah itu harus yang baik, yang memenuhi syarat untuk kurban. Selanjutnya domba
itu disembelih oleh ahlinya atau Ajengan dengan pembacaan doa selamat, setelah
itu dimasak dan dibagikan kepada handai tolan.
5. Upacara Nurunkeun
5. Upacara Nurunkeun
Upacara Nurunkeun ialah upacara
pertama kali bayi dibawa ke halaman rumah, maksudnya mengenal lingkungan dan
sebagai pemberitahuan kepada tetangga bahwa bayi itu sudah dapat digendong
dibawa berjalan-jalan di halaman rumah. Upacara Nurun keun dilaksanakan setelah
tujuh hari upacara Puput Puseur. Pada pelaksanaannya biasa diadakan pengajian
untuk keselamatan dan sebagai hiburannya diadakan pohon tebu atau pohon pisang
yang digantungi aneka makanan, permainan anak-anak yang diletakan di ruang
tamu. Untuyk diperebutkan oleh para tamu terutama oleh anak-anak.
3. Upacara Cukuran/Marhabaan
Upacara cukuran dimaksudkan untuk
membersihkan atau menyucikan rambut bayi dari segala macam najis. Upacara
cukuran atau marhabaan juga merupakan ungkapan syukuran atau terima kasih
kepada Tuhan YME yang telah mengkaruniakan seorang anak yang telah lahir dengan
selamat. Upacara cukuran dilaksanakan pada saat bayi berumur 40 hari.
Pada pelaksanaannya bayi dibaringkan di tengah-tengah para undangan disertai perlengkapan bokor yang diisi air kembang 7 rupa dan gunting yang digantungi perhiasan emas berupa kalung, cincin atau gelang untuk mencukur rambut bayi. Pada saat itu mulailah para undangan berdo’a dan berjanji atau disebut marhaban atau pupujian, yaitu memuji sifat-sifat nabi Muhammad saw. dan membacakan doa yang mempunyai makna selamat lahir bathin dunia akhirat. Pada saat marhabaan itulah rambut bayi digunting sedikit oleh beberapa orang yang berdoa pada saat itu.
Pada pelaksanaannya bayi dibaringkan di tengah-tengah para undangan disertai perlengkapan bokor yang diisi air kembang 7 rupa dan gunting yang digantungi perhiasan emas berupa kalung, cincin atau gelang untuk mencukur rambut bayi. Pada saat itu mulailah para undangan berdo’a dan berjanji atau disebut marhaban atau pupujian, yaitu memuji sifat-sifat nabi Muhammad saw. dan membacakan doa yang mempunyai makna selamat lahir bathin dunia akhirat. Pada saat marhabaan itulah rambut bayi digunting sedikit oleh beberapa orang yang berdoa pada saat itu.
4. Upacara Turun Taneuh
Upacara Turun Taneuh ialah upacara
pertama kali bayi menjejakkan kakinya ke tanah, diselenggarakan setelah bayi
itu agak besar, setelah dapat merangkak atau melangkah sedikit-sedikit. Upacara
ini dimaksudkan agar si anak mengetahui keduniawian dan untuk mengetahui akan
menjadi apakah anak itu kelak, apakah akan menjadi petani, pedagang, atau akan
menjadi orang yang berpangkat. Perlengkapan yang disediakan harus lebih lengkap
dari upacara Nurunkeun, selain aneka makanan juga disediakan kain panjang untuk
menggendong, tikar atau taplak putih, padi segenggam, perhiasan emas (kalung,
gelang, cincin), uang yang terdiri dari uang lembaran ratusan, rebuan, dan
puluh ribuan. Jalannya upacara, apabila para undangan telah berkumpul diadakan
doa selamat, setelah itu bayi digendong dan dibawa ke luar rumah.
Di halaman rumah telah dipersiapkan
aneka makanan, perhiasan dan uang yang disimpan di atas kain putih, selanjutnya
kaki si anak diinjakan pada padi/ makanan, emas, dan uang, hal ini dimaksudkan
agar si anak kelak pintar mencari nafkah. Kemudian anak itu dilepaskan di atas
barang-barang tadi dan dibiarkan merangkak sendiri, para undangan memperhatikan
barang apa yang pertama kali dipegangnya. Jika anak itu memegang padi, hal itu
menandakan anak itu kelak menjadi petani. Jika yang dipegang itu uang,
menandakan anak itu kelak menjadi saudagar/pengusaha. Demikian pula apabila
yang dipegangnya emas, menandakan anak itu kelak akan menjadi orang yang
berpangkat atau mempunyai kedudukan yang terhormat.