Rumah Adat Sunda
Rumah Tradisional Sunda
Selain sandang dan pangan, manusia juga membutuhkan papan atau rumah tempat untuk berlindung dari bahaya yang mengancam keberadaannya. Fungsi dan bentuk rumah pun berubah-rubah sesuai dengan kecenderungan dan kebutuhan pada masa yang sedang berlangsung. Pada masa yang lalu orang melindungi dirinya dengan membuat sebuah rumah dari bahan-bahan alam yang tersedia, serta pemaknaan fungsi setiap ruang yang sesuai dengan adat yang dianut. Kesederhanaan bentuk, imajinasi seni, pemaknaan dan nilai ruang pada masa lalu merupakan suatu hal yang bermanfaat untuk kita pahami sebagai pijakan dalam memaknai setiap unsur dan ruang sebuah rumah pada saat ini. Berikut ini paparan mengenai rumah tradisional sunda yang dirujuk dari Ensiklopedi Sunda: alam, manusia dan budaya.
Rumah tradisional sunda seperti nampak di
Kanekes, Kampung Naga dan Kampung Pulo (Garut), adalah rumah panggung
dengan ketinggian sekitar 50 cm dari atas tanah. Meskipun di daerah
pesisir dan dataran rendah, rumah umumnya ngupuk (bukan panggung), tapi
ada bukti yang menunjukkan bahwa di situ pun dahulu rumah berbentuk
panggung. Rumah Panggung, selain untuk mencegah bahaya (binatang,
banjir, dll), juga memberi kehangatan pada penghuninya. Tiang rumah
terbuat dari kayu, tetapi diletakkan diatas batu yang disebut umpak (di
Kanekes) atau tatapakan.
Rumah tradisional sunda terbagi menjadi tiga bagian yaitu :
Hareup (depan)
Bagian depan disebut tepas atau emper, digunakan sebagai tempat menerima tamu laki-laki. Tepas di Baduy disebut juga sosoro dan ada yang diberi tambahan yang disebut sosompang (Khusus di rumah Jaro). Sejajar dengan tepas, biasanya ada kamar yang disediakan untuk tamu.
Bagian depan disebut tepas atau emper, digunakan sebagai tempat menerima tamu laki-laki. Tepas di Baduy disebut juga sosoro dan ada yang diberi tambahan yang disebut sosompang (Khusus di rumah Jaro). Sejajar dengan tepas, biasanya ada kamar yang disediakan untuk tamu.
Tengah
Bagian tengah disebut tengah imah, terdiri dari pangkeng (bilik) yang kadang-kadang memakai batas dengan dinding bilik, tapi ada juga yang tidak. Pangkeng atau enggon adalah tempat untuk tidur. Dalam rumah yang agak besar, di bagian tengah ini biasanya ada ruangan untuk berkumpul seisi rumah.
Bagian tengah disebut tengah imah, terdiri dari pangkeng (bilik) yang kadang-kadang memakai batas dengan dinding bilik, tapi ada juga yang tidak. Pangkeng atau enggon adalah tempat untuk tidur. Dalam rumah yang agak besar, di bagian tengah ini biasanya ada ruangan untuk berkumpul seisi rumah.
Tukang (belakang)
Bagian belakang rumah terdiri dari dapur dan goah. Laki-laki kalau tidak terpaksa sekali tidak boleh masuk ke dapur, apalagi masuk goah. Pamali (tabu), laki-laki yang masuk dapur dianggap tidak baik, cupar. Dapur selain berfungsi sebagai tempat memasak, juga sering dipakai untuk menerima tamu perempuan.
Bagian belakang rumah terdiri dari dapur dan goah. Laki-laki kalau tidak terpaksa sekali tidak boleh masuk ke dapur, apalagi masuk goah. Pamali (tabu), laki-laki yang masuk dapur dianggap tidak baik, cupar. Dapur selain berfungsi sebagai tempat memasak, juga sering dipakai untuk menerima tamu perempuan.
Dengan demikian jelas bahwa hareup dalah
dunia laki-laki, sedangkan tukang adalah tempat perempuan. Hal ini juga
nampak pada fungsi halaman. Halaman depan menjadi tempat kegiatan
laki-laki, biasanya ditanami berbagai pohon buah-buahan, atau dipakai
untuk menjemur padi, dll. Sedang di halaman belakang terdapat sumur atau
pancuran, kolam ikan dan ditanami tanaman untuk lalab atau yang
mengandung obat-obatan.
Kerangka rumah tradisional sunda disebut
rangkay. Rangkay terdiri dari tiga bagian. Bagian atas disebut hateup
(atap) dan suhunan(bubungan), bagian tengah disebut rangka atau badan,
dan bagian bawah disebut salasar (lantai). Atap rumah tradisional
terbuat dari ijuk, atau daun enau, tapi belakang lebih banyak
mempergunakan genting, kecuali yang di Kanekes dan Kampung Naga.
Ada tiga jenis suhunan, yaitu suhunan
panjang, suhunan pendek (suhunan jure) dan lisung nangkub (lesung
tertelungkup). Sedangkan bentuknya ada yang disebut limasan, tagog
anjing, dll. Bahan-bahan rumah terbuat dari kayu, walaupun mungkin
dahulu ada juga rumah yang tiangnya terbuat dari bambu, karena ada
peribahasa hejo tihang, yaitu sebutan buat orang yang selalu
pindah-pindah rumah, sehingga tiangnya tak sempat kering. Dinding rumah
terbuat dari bilik, yaitu anyaman bambu, ada yang dianyam miring
(anyaman kepang), ada yang lurus (anyaman sasag). Ada juga yang
mempergunakan papan. Lantai rumah terbuat dari talupuh atau palupuh,
yaitu batang-batang bambu yang dibelah dan dicacah, tapi tak sampai
terpisah, lalu diratakan dengan panggungnya (yang bersembilu) di atas.
Bekas cacahannya memungkinkan udara leluasa masuk dari kolong rumah.
Dengan demikian, baik melalui dinding bilik yang juga punya celah-celah,
maupun melalui lantai palupuh, pertukaran udara dalam rumah berlangsung
dengan baik, walaupun pada umumnya rumah tradisional tidak mempunyai
jendela atau lubang angin.
Tangga untuk naik rumah disebut golodog
atau babancik (pada rumah tembok). Rumah panggung dengan tatapakan batu
ini, secara teknis dapat bertahan dari guncangan gempa bumi, sehingga
cocok dengan alam priangan yang banyak gunung apinya yang masih aktif.
Tapi rumah-rumah di pesisir atau di dataran rendah, banyak ngupuk, bukan
rumah panggung. Di daerah Cirebon bentuk rumah Jawa dan Cina yang
Nampak pada bentuk suhunan, misalnya ada bentuk limasan dan suhunannya
berbentuk ular naga. Namun pembagian rumah menjadi tiga: depan, tangah
dan belakang, masih dipertahankan. Rumah tradisional masih nampak di
perkampungan, tetapi kian lama kian banyak orang yang membuat rumah
tembok dengan lantai tegel, karena hal itu dianggap menaikkan gengsinya
dalam masyarakat. Hanya orang kanekes, penduduk kampung naga dan kampung
pulo yang masih mempertahankan tradisi mereka.
(santi2ka)
(santi2ka)
Rumah Adat Sunda (gambar/sketsa)
Dalam masyarakat Sunda buhun (kuno)
dikenal beberapa jenis bangunan rumah, Pada umumnya bangunan rumah adat
sunda bentuknya panggung, yang kaki-kakinya (tatapakan, istilah sunda)
terbuat dari batu persegi (balok) dalam bahasa Sunda disebut batu
tatapakan. Untuk tihang (tiang) mengunakan kayu. Bagian bawah/lantai
menggunakan papan kayu atau palupuh/talupuh dari bambu. Dindingnya
memakai anyaman bambu (bilik) atau papan kayu.
Perbedaannya terlihat pada bagian atas/atap (suhunan), antara lain:
- Julang ngapak, yaitu bentuk bangunan
rumah yang suhunan bagian sisi kiri kanan agak melebar ke samping. Ada
juga yang menyebutnya memakai sorondoy. Apabila di lihat dari arah depan
seperti burung yang sedang terbang.
sketsa suhunan julang ngapak…
- Parahu kumureb, yaitu bentuk bangunan rumah yang atapnya (suhunan) membentuk perahu terbalik (telungkup).
sketsa suhunan parahu kumereb…
- Suhunan jolopong, yaitu bentuk bangunan yang atapnya (suhunan) memanjang sering disebut suhunan panjang atau gagajahan.
sketsa suhunan jolopong…
- Tagog anjing, yaitu bentuk bangunan
mirip dengan bentuk badak heuay, tetapi ada sambungan kebagian depan dan
sedikit turun. Jadi bangunannya tekuk (ngeluk) seperti anjng jongkok.
sketsa suhunan tagog anjing…
- Badak heuay, yaitu bentuk bangunan
seperti saung tidak memakai wuwung sambungan atap (hateup) depan dengan
belakang seperti badak sedang membuka mulutnya (menguap, arti sunda
heuay).
sketsa suhunan badak heuay…
- Capit gunting, yaitu bentuk bangunan
rumah yang atap (suhunan) bagian ujung belakang atas dan depan atas
menggunakan kayu atau bambu yang bentuknya menyilang dibagian atasnya
seperti gunting.
sketsa suhunan capit gunting…
Pada masa kini, mungkin sudah banyak yang tidak mengetahui bagaimana sebenarnya ujud dari rumah khas tatar Pasundan. Ia bagai sesuatu yang sering terdengar sekaligus jauh dari jangkauan indera,padahal ia lahir dari tangan-tangan terampil. Tulisan ini pun sebenarnya berangkat dari sebuah hal yang sangat sederhana, berawal dari suatu sore yang biasa-biasa saja ketika sepupu saya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar tiba-tiba bertanya tentang rumah adat Sunda. Sedikit terhenyak saya mendengar pertanyaan polos yang meluncur dari bibir mungilnya tesebut. Sebuah pertanyaan yang terkesan sangat remeh namun menggugah keinginan saya untuk mengetahui lebih dalam mengenai hal itu. Rumah adat Sunda, bagaimanakah ia sebenarnya? Dan penelusuran kecil-kecilan saya pun lalu tiba-tiba saja dimulai.
Tak ada yang bisa menyangkal, setiap
rumah adat tentu memiliki ciri dan keunikannya masing-masing. Secara
tradisional rumah orang Sunda berbentuk panggung dengan ketinggian 0,5 m
– 0,8 m atau 1 meter di atas permukaan tanah. Pada rumah-rumah yang
sudah tua usianya, tinggi kolong ada yang mencapai 1,8 meter. Kolong ini
sendiri umumnya digunakan untuk tempat mengikat binatang-binatang
peliharaan seperti sapi, kuda, atau untuk menyimpan alat-alat pertanian
seperti cangkul, bajak, garu dan sebagainya. Untuk menaiki rumah
disediakan tangga yang disebut Golodog terbuat dari kayu atau bambu,
biasanya tidak lebih dari tiga anak tangga. Golodog berfungsi pula untuk
membersihkan kaki sebelum naik ke dalam rumah.
Rumah adat Sunda sendiri sebenarnya
memiliki nama yang berbeda-beda bergantung pada bentuk atap dan pintu
rumahnya. Secara tradisional ada atap yang bernama suhunan Jolopong,
Tagong Anjing, Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg Nangkub, dan Buka
Pongpok. Dari kesemuanya itu, Jolopong adalah bentuk yang paling
sederhana dan banyak dijumpai di daerah-daerah cagar budaya atau di
desa-desa.
Jolopong – atas dasar popularitasnya itu –
penelusuran saya pun lalu semakin mengarah pada bentukan rumah adat
yang satu ini. Bentuk Jolopong sendiri memiliki dua bidang atap. Kedua
bidang atap ini dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah.
Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar dengan kedua sisi bawah
bidang atap yang sebelah menyebelah, sedangkan lainnya lebih pendek
dibanding dengan suhunan dan memotong tegak lurus di kedua ujung suhunan
itu.
Interior yang dimiliki Jolopong pun
sangat efisien. Ruang Jolopong terdiri atas ruang depan yang disebut
emper atau tepas; ruangan tengah disebut tengah imah atau patengahan;
ruangan samping disebut pangkeng (kamar); dan ruangan belakang yang
terdiri atas dapur yang disebut pawon dan tempat menyimpan beras yang
disebut padaringan. Ruangan yang disebut emper berfungsi, untuk menerima
tamu. Pada waktu dulu, ruangan ini dibiarkan kosong tanpa perkakas atau
perabot rumah tangga seperti meja, kursi, ataupun bale-bale tempat
duduk dan jika tamu datang barulah yang empunya rumah menggelarkan tikar
untuk duduk tamu.
Jika ditilik dari segi filosofis, rumah
tradisional milik masyarakat Jawa Barat ini ternyata memiliki pemahaman
yang sangat mengagumkan. Secara umum, nama suhunan rumah adat orang
Sunda ditujukan untuk menghormati alam sekelilingnya. Hampir di setiap
bangunan rumah adat Sunda sangat jarang ditemukan paku besi maupun alat
bangunan modern lainnya. Untuk penguat antar-tiang digunakan paseuk
(dari bambu) atau tali dari ijuk ataupun sabut kelapa, sedangkan bagian
atap sebagai penutup rumah menggunakan ijuk, daun kelapa, atau daun
rumia. Sangat jarang menggunakan genting. Hal menarik lainnya adalah
mengenai material yang digunakan oleh sang rumah itu sendiri. Pemakaian
material bilik yang tipis dan lantai panggung dari papan kayu atau
palupuh tentu tidak mungkin dipakai untuk tempat perlindungan di
komunitas dengan peradaban barbar. Rumah di komunitas orang Sunda bukan
sebagai benteng perlindungan dari musuh manusia, tapi semata dari alam
berupa hujan, angin, terik matahari dan binatang.
Memang, bentuk dan gaya rumah adat Sunda
sudah sangat jarang dijumpai apalagi di daerah perkotaan. Perkembangan
jaman membuat rumah-rumah bergaya barat lebih mendominasi, namun bukan
berarti gaya tradisional ini hilang sama sekali. Rumah orang Sunda
dewasa ini sebagian besar tidak lagi seperti model tradisional, baik
dalam penggunaan segala jenis material maupun dalam bentuk dan model.
Akan tetapi, bila orang Sunda atau yang lain menjalani hidup dengan
menerapkan nilai-nilai kesundaan di dalam huniannya, rumah itu akan
memiliki aura Sunda dan tentu saja masih layak disebut rumah Sunda. Hal
ini karena dalam semua kebudayaan termasuk Sunda, dibalik materi ada
nilai lain yang terkandung yang dalam penerapannya bersifat fleksibel.
Apalagi mengingat karakter orang Sunda yang sangat mudah beradaptasi.
Meskipun demikian, masih ada komunitas Sunda yang setia dengan
peninggalan arsitektur warisan karuhun yang satu paket dengan
nilai-nilai lain sebagai pandangan hidup. Di samping itu, keberadaan
kampung adat maupun kampung budaya di Jawa Barat sangat menolong
eksistensi bentuk dan gaya suhunan rumah adat Sunda. Bukan hanya
nama-nama suhunan rumah yang dipertahankan, tetapi bentuknya pun
dipertahankan dan dikembangkan sesuai bentuk aslinya.